Minggu lalu
dalam sebuah penerbangan malam hari dari Banda Aceh – Jakarta, saya duduk
bersebelahan dengan bapak tua berusia 60-an tahun. Namanya pak Zainal Abidin.
Penampilannya sungguh sangat bersahaja. Bajunya tampak lusuh dengan peci hitam
tua menghias kepalanya. Ia bilang kalau hingga beberapa tahun lewat, ia
menekuni pekerjaan sebagai seorang penjagal dan penyembelih sapi. Ya, di
hari-hari biasa atau juga dalam setiap hari raya Idul Qurban tiba, ia dengan
setia menekuni profesinya sebagai sang penyembelih sapi.
Ia bercerita
kalau ia hendak berangkat umroh ke tanah suci dengan fasilitas pelayanan super
VIP a la hotel bintang lima. Terus terang saya agak terkejut dengan
pengakuannya ini. Dan sungguh saya lebih terkejut dan hampir terloncat dari
kursi pesawat (untung saya pakai sabuk pengaman), saat ia bilang kalau baru
saja ia mendapat rezeki dari Yang Diatas sebesar Rp 16 milyar. What?!! 16
milyar rupiah? Ini bukan uang yang sedikit lho pak. Bisa buat beli helikopter.
Lalu dari
mana pak Zainal memperoleh rezeki nomplok sebesar itu? Mari kita simak
kisahnya. Sejak tahun 80 hinggan 90-an lalu, Pak Zaenal bilang kalau ia selalu
rajin menyisihkan penghasilannya untuk membeli tanah sepetak demi sepetak. Dan
kita tahu, dalam era konflik saat itu harga tanah di bumi Rencong relatif
murah. Namun pak Zainal ternyata punya keyakinan positif : suatu saat bumi
Naggroe Atjeh Darussalam, tempatnya berpijak, pasti akan dilimpahi kemakmuran.
Begitulah dengan keyakinan itu, ia pelan-pelan selalu menyisihkan tabungannya
buat membeli tanah dipinggiran desa penuh rawa hingga seluas 8000 meter
persegi. Rata-rata harganya hanya Rp 20,000 per meter persegi.
Ternyata
visi investasi Pak Zainal (wah Pak Zainal sendiri mungkin tak tahu apa itu visi
investasi….) benar dan sangat akurat. Selepas tsunami dan kesepakatan damai,
uang trilyunan rupiah mengalir ke Serambi Mekah. And thanks God, kebetulan
tanah rawa punya Pak Zainal masuk area perluasan jalan raya tembus antar
kabupaten. Begitulah, akhirnya disepakati tanah seluas 8000 meter persegi itu
dibeli oleh Pemda Aceh seharga Rp 2,000,000,- per meternya. Alhasil, fulus
sebesar Rp 16 milyar dengan sukses masuk ke kantong baju Pak Zainal.
Lalu, apa
yang bisa kita pelajari dari kisah dramatis ini? Setidaknya ada tiga poin
pelajaran penting tentang financial planning yang bisa kita petik dari kisah
Sang Penyembelih Sapi ini.
Poin yang
pertama adalah sebuah konsep yang dalam wacana wealth management disebut
sebagai exponential income growth. Atau pertumbuhan pendapatan secara
eksponensial. Pak Zainal membeli tanah dengan harga Rp 20 ribu dan kemudian
menjualnya Rp 2 juta. Ini artinya naik seratus kali lipat atau 10,000 % !! And
sorry to say, kalau Anda termasuk kelas pekerja kantoran, Anda hampir tak
mungkin bisa meraih pertumbuhan pendapatan secara eksponensial ini. Sebab,
rata-rata kenaikan gaji karyawan per tahun hanyalah 10 % (ini pun sudah
tergerus oleh laju inflasi). Kalaulah gaji Anda 10 juta per bulan, Anda perlu
waktu 133 tahun untuk mengumpulkan uang sebesar 16 milyar (dan saat itu, Anda
pasti sudah berubah menjadi tulang belulang di alam baka sana). Poinnya jelas :
untuk memperoleh exponential income growth, Anda mesti memiliki bisnis sendiri
atau melakukan investasi atas aset produktif (seperti tanah, properti, atau
saham).
Poin
pelajaran yang kedua adalah apa yang kini lazim disebut sebagai passive
income. Bahasa kerennya : membiarkan uang bekerja untuk Anda, dan
bukan Anda bekerja mati-matian untuk mencari uang. Pak Zainal
bercerita, kalau uangnya tersebut sebagian telah disimpan di deposito, sebagian
dibagikan kepada anak-anaknya, dan sebagian diinvestasikan kembali dalam bentuk
properti dan tanah (dan sebagian lagi dipakai untuk umroh dengan fasilitas
super VIP….). Kalaulah yang didepositokan 10 milyar, dengan asumsi bunga 1% per
bulan, maka tiap bulan Pak Zaenal bisa menerima uang sebesar Rp 100 juta……dan
uang ini akan terus mengalir tanpa dirinya bekerja. Sepanjang hari, pak Zaenal
bisa tidur leyeh-leyeh atau menggembalakan sapi di pinggir sawah. Sementara
sebagian dari kita, sekedar untuk mendapatkan 5 juta per bulan pun harus
bekerja keras, berangkat dari rumah jam 6 pagi, pulang selepas Isya. Dan
dikantor dimarahin bos lagi. Sementara dijalanan terjebak macet sambil kena
damprat kondektur metromini……(duh Gusti, nasib, nasib….).
Poin
pelajaran yang terakhir adalah apa yang disebut sebagai financial freedom
atau kebebasan finansial. Dengan uang sebesar 16 milyar rupiah, pak Zaenal tak
perlu risau lagi tentang masa depan anak dan cucunya hingga tujuh turunan.
Ketika harga BBM terus melambung, banyak orang mengeluh, protes dan membakar
ban dijalanan (emang setelah ban dibakar, sim salabim, harga BBM bisa kembali
turun?). Mungkin akan jauh lebih baik jika energi untuk mengeluh dan protes itu
disalurkan untuk meningkatkan income growth guna meraih financial freedom –
persis seperti yang ditunjukkan pak Zaenal itu. Dengan financial freedom, kita
tak perlu lagi panik setiap kali diguncang oleh kenaikan harga bahan pokok dan
BBM. Kelak, ketika harga bensin menjadi Rp 20,000 per liter, pak Zaenal mungkin
akan tetap tenang-tenang saja……bisa tetap tidur leyeh-leyeh sambil
menggembalakan sapi di pinggir sawah.
Itulah tiga
poin pembelajaran finansial yang bisa kita petik dari sang Penyembelih Sapi
dari Aceh ini. Malam kian larut, dan dari balik kabin pesawat, lamat-lamat
terdengar suara mesin turbo jet Boeing seri 737 yang kami tumpangi. Ketika saya
menoleh ke sebelah, ternyata pak Zaenal telah tertidur lelap, sementara pecinya
yang lusuh agak miring ke kanan. Saya melihat segaris senyum tersungging di
bibirnya. Ah, malam itu pak Zenal mungkin tengah terlelap dalam buaian mimpi
yang indah. Inilah sepotong impian tentang hidup yang berkelimpahan dengan rasa
syukur yang terus mengalir tanpa henti……
sumber: http://strategimanajemen.net/2008/06/16/sang-penyembelih-sapi-itu-memperoleh-uang-sebesar-rp-16-milyar/
1 komentar:
di tunggu postingan yang berikutnya
burung ciblek
resep kue bawang
contoh kata pengatar
Posting Komentar