• Home
  • Edit
  • HUKUM MENDENGARKAN LAGU/ NYANYIAN ~ Berbagi Info

    Selasa, 27 Januari 2015

    HUKUM MENDENGARKAN LAGU/ NYANYIAN


    HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN         Dr. Yusuf Qardhawi 
     
    PERTANYAAN
     
    Sebagian orang mengharamkan  semua  bentuk  nyanyian  dengan
    alasan firman Allah:
     
    "Dan   diantara  nnanusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan
    perkataan yang tidak  berguna  untuk  menyesatkan  (manusia)
    dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan
    Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang
    menghinakan." (Luqman: 6)
     
    Selain   firman   Allah  itu,  mereka  juga  beralasan  pada
    penafsiran  para  sahabat  tentang  ayat  tersebut.  Menurut
    sahabat,  yang  dimaksud  dengan  "lahwul hadits" (perkataan
    yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.
     
    Mereka juga beralasan pada ayat lain:
     
    "Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak
    bermanfaat,  mereka  berpaling daripadanya ..." (Al Qashash:
    55)
     
    Sedangkan  nyanyian,  menurut  mereka,   termasuk   "laghwu"
    (perkataan yang tidak bermanfaat).
     
    Pertanyaannya,   tepatkah  penggunaan  kedua  ayat  tersebut
    sebagai dalil dalam  masalah  ini?  Dan  bagaimana  pendapat
    Ustadz  tentang  hukum  mendengarkan  nyanyian?  Kami  mohon
    Ustadz  berkenan  memberikan  fatwa  kepada  saya   mengenai
    masalah  yang  pelik  ini, karena telah terjadi perselisihan
    yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini,  sehingga
    memerlukan  hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga
    Allah  berkenan  memberikan  pahala  yang  setimpal   kepada
    Ustadz.
     
    JAWABAN
     
    Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik,
    merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para  fuqaha  kaum
    muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal
    dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.
     
    Mereka sepakat mengenai haramnya  nyanyian  yang  mengandung
    kekejian,   kefasikan,   dan   menyeret   seseorang   kepada
    kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu  baik  jika
    memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila
    berisi ucapan yang jelek. Sedangkan  setiap  perkataan  yang
    menyimpang  dari  adab  Islam  adalah  haram. Maka bagaimana
    menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu  diiringi
    dengan  nada  dan  irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka
    juga sepakat tentang  diperbolehkannya  nyanyian  yang  baik
    pada  acara-acara  gembira, seperti pada resepsi pernikahan,
    saat menyambut  kedatangan  seseorang,  dan  pada  hari-hari
    raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan
    jelas.
     
    Namun demikian, mereka berbeda  pendapat  mengenai  nyanyian
    selain   itu  (pada  kesempatan-kesempatan  lain).  Diantara
    mereka ada yang memperbolehkan semua  jenis  nyanyian,  baik
    dengan   menggunakan   alat   musik   maupun  tidak,  bahkan
    dianggapnya mustahab.  Sebagian  lagi  tidak  memperbolehkan
    nyanyian  yang  menggunakan  musik  tetapi memperbolehkannya
    bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama
    sekali,  bahkan  menganggapnya haram (baik menggunakan musik
    atau tidak).
     
    Dari  berbagai  pendapat  tersebut,  saya  cenderung   untuk
    berpendapat  bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala
    sesuatu adalah  halal  selama  tidak  ada  nash  sahih  yang
    mengharamkannya.  Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan
    nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas)  tetapi  tidak
    sahih,  atau  sahih  tetapi  tidak sharih. Antara lain ialah
    kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
     
    Kita perhatikan ayat pertama:
     
    "Dan  diantara  manusia  (ada)  orang   yang   mempergunakan
    perkataan yang tidak berguna ..."
     
    Ayat  ini  dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in
    untuk mengharamkan nyanyian.
     
    Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana
    yang  dikemukakan  Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia
    berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat
    dari beberapa segi:
     
    Pertama:  tidak  ada  hujah bagi seseorang selain Rasulullah
    saw. Kedua:  pendapat  ini  telah  ditentang  oleh  sebagian
    sahabat  dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru
    membatalkan   argumentasi    mereka,    karena    didalamnya
    menerangkan kualifikasi tertentu:
     
    "'Dan   diantara  manusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan
    perkataan yang tidak berguna  untulc  menyesatkan  (manusia)
    dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan
    Allah itu olok-olokan ..."
     
    Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat  ini,
    maka  ia  dikualifikasikan  kafir  tanpa diperdebatkan lagi.
    Jika  ada  orang  yang  membeli  Al  Qur'an  (mushaf)  untuk
    menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan
    olok-olokan, maka jelas-jelas dia  kafir.  Perilaku  seperti
    inilah  yang  dicela  oleh  Allah.  Tetapi Allah sama sekali
    tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
    tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan
    untuk menyesatkan manusia dari jalan  Allah.  Demikian  juga
    orang  yang  sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca
    Al Qur'an atau membaca  hadits,  atau  bercakap-cakap,  atau
    menyanyi  (mendengarkan  nyanyian), atau lainnya, maka orang
    tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain
    halnya   jika  semua  itu  tidak  menjadikannya  mengabaikan
    kewajiban kepada  Allah,  yang  demikian  tidak  apa-apa  ia
    lakukan."
     
    Adapun ayat kedua:
     
    "Dan   apabila   mereka   mendengar   perkataan  yang  tidak
    bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
     
    Penggunaan  ayat  ini  sebagai  dalil   untuk   mengharamkan
    nyanyian  tidaklah  tepat,  karena  makna zhahir "al laghwu"
    dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa  caci  maki
    dan  cercaan,  dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam
    lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
     
    "Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak
    bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:
    "Bagi  kami   amal-amal   kami   dan   bagimu   amal-amalmu,
    kesejahteraan  atas  dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
    orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
     
    Ayat   ini   mirip   dengan   firman-Nya   mengenai    sikap
    'ibadurrahman  (hamba-hamba  yang  dicintai  Allah Yang Maha
    Pengasih):
     
    "... dan apabila orang-orang jahil  menyapa  mereka,  mereka
    mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63)
     
    Andaikata  kita  terima  kata  "laghwu"  dalam ayat tersebut
    meliputi  nyanyian,  maka  ayat  itu  hanya  menyukai   kita
    berpaling  dari  mendengarkan  dan  memuji  nyanyian,  tidak
    mewajibkan berpaling darinya.
     
    Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk
    sesuatu  yang  tidak  ada  faedahnya, sedangkan mendengarkan
    sesuatu yang tidak berfaedah  tidaklah  haram  selama  tidak
    menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
     
    Diriwayatkan   dari   Ibnu   Juraij  bahwa  Rasulullah  saw.
    memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan  kepada
    beliau:  "Apakah  yang  demikian  itu  pada hari kiamat akan
    didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?"  Beliau
    menjawab,  "Tidak  termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk
    kejelekan, karena ia  seperti  al  laghwu,  sedangkan  Allah
    berfirman:
     
    "Allah  tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
    tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89)
     
    Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala
    terhadap  sesuatu  dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati
    yang sungguh-sungguh dan  menyelisihinya  karena  tidak  ada
    faedahnya  itu  tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan
    hukuman pada nyanyian dan tarian?"
     
    Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu  laghwu,  karena
    hukumnya  ditetapkan  berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab
    itu, niat yang baik menjadikan sesuatu  yang  laghwu  (tidak
    bermanfaat)  sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan
    al mizah (gurauan) sebagai ketaatan.  Dan  niat  yang  buruk
    menggugurkan  amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara
    batin  merupakan  riya'.  Dari  Abu  Hurairah   r.a.   bahwa
    Rasulullah saw. bersabda:
     
    "Sesungguhnya  Allah  tidak  melihat  rupa  kamu,  tetapi ia
    meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
     
    Baiklah saya kutipkan di  sini  perkataan  yang  disampaikan
    oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang
    yang  melarang  nyanyian.   Ibnu   Hazm   berkata:   "Mereka
    berargumentasi   dengan   mengatakan:  apakah  nyanyian  itu
    termasuk kebenaran, padahal tidak ada  yang  ketiga?1  Allah
    SWT berfirman:
     
    "...   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan
    kesesatan ..." (Yunus, 32)
     
    Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa
    Rasulullah saw. bersabda:
     
    "Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan
    sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia
    niatkan."
     
    Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat
    mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta'ala
    berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian.
    Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk  menghibur
    hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan
    menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah
    orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk
    dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat
    untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan
    nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak
    berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya,  orang yang pergi ke
    taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan
    membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah
    warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan
    perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."2
     
    Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang
    mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada
    satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut
    (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al
    Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al
    Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya."
    Demikian  juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi
    dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu  Hazm  berkata:  "Semua  riwayat
    mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan
    palsu."
     
    Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah  gugur,  maka
    tetaplah  nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal.
    Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih
    yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan
    riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar
    pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika
    itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu
    Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada
    seruling setan di  rumah  Rasulullah?"  Kemudian  Rasulullah
    saw. menimpali:
     
    "Biarkanlah  mereka,  wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini
    adalah hari raya."
     
    Disamping itu, juga tidak ada larangan  menyanyi  pada  hari
    selain  hari  raya.  Makna  hadits itu ialah bahwa hari raya
    termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan
    dengan   nyanyian,  permainan,  dan  sebagainya  yang  tidak
    terlarang.
     
    Akan tetapi, dalam mengakhiri  fatwa  ini  tidak  lupa  saya
    kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
     
    1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab
       Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan
       gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah
       menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk
       perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya,
       penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan
       semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu
       sendiri jelas menimbulkan dharar.
       
       Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji
       kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang
       bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan
       oleh Kitab Sucinya:
       
       "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah
       mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)
       
       "Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
       menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
       
       Dan Rasulullah saw. bersabda:
       
       "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu
       dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan
       pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah
       risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
       
       Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai
       atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
       
    2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.
       Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi
       penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang
       sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan
       nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan
       nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram,
       seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan
       yang tidak sopan.
       
       Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri
       Nabi saw.:
       
       "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
       berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya ..."
       (Al Ahzab: 32)
       
    3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf
       dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana
       menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam
       permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu,
       meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan
       bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan
       kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang
       luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan
       manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya
       apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat
       israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti
       ada hak yang terabaikan."
     
    Bagi  pendengar  -  setelah  memperhatikan   ketentuan   dan
    batas-batas  seperti  yang  telah saya kemukakan - hendaklah
    dapat   mengendalikan   dirinya.   Apabila   nyanyian   atau
    sejenisnya  dapat  menimbulkan  rangsangan dan membangkitkan
    syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya  tenggelam  dalam
    khayalan,   maka  hendaklah  ia  menjauhinya.  Hendaklah  ia
    menutup  rapat-rapat  pintu   yang   dapat   menjadi   jalan
    berhembusnya  angin  fitnah  kedalam  hatinya, agamanya, dan
    akhlaknya.
     
    Tidak    diragukan    lagi    bahwa    syarat-syarat    atau
    ketentuan-ketentuan  ini  pada  masa sekarang sedikit sekali
    dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya,
    temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan
    orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan
    nilai-nilai  yang  ideal.  Karena itu tidaklah layak seorang
    muslim memuji-muji mereka  dan  ikut  mempopulerkan  mereka,
    atau  ikut  memperluas  pengaruh mereka. Sebab dengan begitu
    berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
     
    Karena itu lebih utama bagi seorang muslim  untuk  mengekang
    dirinya,  menghindari  hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri
    dari sesuatu  yang  akan  dapat  menjerumuskannya  ke  dalam
    lembah  yang  haram  -  suatu keadaan yang hanya orang-orang
    tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
     
    Barangsiapa  yang  mengambil  rukhshah  (keringanan),   maka
    hendaklah  sedapat  mungkin  memilih  yang  baik,  yang jauh
    kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian
    saja   begitu  banyak  pengaruh  yang  ditimbulkannya,  maka
    menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena  masuk
    ke  dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama
    seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos  dengan
    selamat (terlepas dari dosa).
     
    Khusus  bagi  seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih
    besar. Karena itu Allah mewajibkan  wanita  agar  memelihara
    dan  menjaga  diri  serta  bersikap  sopan dalam berpakaian,
    berjalan, dan berbicara,  yang  sekiranya  dapat  menjauhkan
    kaum  lelaki  dari  fitnahnya  dan menjauhkan mereka sendiri
    dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari  mulut-mulut
    kotor,  mata  keranjang,  dan keinginan-keinginan buruk dari
    hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
     
    "Hai  Nabi  katakanIah   kepada   istri-istrimu,   anak-anak
    perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka
    mengulurkan  jilbabnya  ke  seluruh  tubuh   mereka.'   Yang
    demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
    itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
     
    "... Maka janganlah kamu  tunduk  dalam  berbicara  sehingga
    berkeinginanlah  orang  yang  ada  penyakit di dalam hatinya
    ..." (Al Ahzab: 32)
     
    Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan
    dirinya   untuk   memfitnah   atau  difitnah,  juga  berarti
    menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena
    banyak   kemungkinan  baginya  untuk  berkhalwat  (berduaan)
    dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya  dengan  alasan
    untuk  mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak,
    dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita
    yang  ber-tabarruj  serta  berpakaian dan bersikap semaunya,
    tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar  haram  menurut
    syariat Islam.
     
    Catatan kaki
     
    1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran
      dan kesesatan, (ed.)
    2 Ibnu Hazm, Al Muhalla.
     
    -----------------------                         
    Fatwa-fatwa Kontemporer
    Dr. Yusuf Qardhawi 
    
    
    sumber: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Nanyian2.html

    0 komentar:

    Posting Komentar