Cobalah renungkan sejumlah pertanyaan ini. Seringkah kita merasa
anak-anak kita terlalu banyak meminta? Atau justru sebaliknya, apakah
kita terlalu sering membelikan sesuatu untuk anak tanpa perencanaan?
Kemudian,
pernahkah kita mengamati anak-anak kita kurang menghargai mainan
koleksinya? Apakah anak kita sering tidak menghabiskan makanannya? Atau
justru terlalu sering jajan? Egoiskah anak-anak kita berbagi barang
dengan orang lain?
Jika lebih dari separuh pertanyaan di atas
kita jawab “YA”. Maka, ini pertanda saatnya mengenalkan nilai (value)
uang kepada anak-anak.
Dari pengalaman pribadi mendidik anak,
saya bukan tipikal orang tua yang memilih teriak-teriak ketika ingin
marah. Saya berusaha sebaik mungkin di posisi netral dalam keadaan
apapun. Tentu ini bagian tersulit saat menjadi orang tua. Butuh latihan
ekstra dan kerajinan mengunjungi “toko sabar”.
Suatu hari, anak
sulung saya ketika itu berusia 5 tahun, lama sekali menghabiskan
sarapannya. Hingga mobil jemputan sekolahnya datang, dia belum selesai.
Ini jarang terjadi.
Begitu cek dan ricek, rupanya saya menemukan
tomat dalam makanannya. Hari itu pertama kali saya tahu bahwa anak saya
tidak menyukai tomat. Singkat cerita, sarapan molor dan mobil jemputan
meninggalkannya di rumah.
Dia mulai merengek. Saya langsung ambil keputusan untuk mengantarkannya ke sekolah hari itu.
Sebenarnya
saya punya rencana lain. Di mobil, kami berbincang, seperti biasanya.
Saya menanyakan kenapa dia tidak suka tomat. Kenapa dia mulai
memilih-milih makanan dan sejumlah pertanyaan lain.
Jawabannya
cukup membuat saya stress. Intinya, dia memilih makanan berdasarkan
selera. Saya kurang bisa bertoleransi dengan hal itu.
Pada
persimpangan jalan yang ramai, saya menepikan mobil. Saya suruh anak
saya mengganti baju seragamnya. Saya ajak dia turun ke jalan. Saya
kenalkan dengan pengamen, tukang loper koran, pedagang asongan, dan
anak-anak jalanan yang lain.
Setelah itu saya biarkan dia
berkomunikasi dan bergabung dengan anak jalanan selama hampir setengah
jam. Saya suruh anak saya sendiri mengamen di jalan. Sadis? Ya !
Setelah itu kami kembali ke rumah. Di mobil saya diam. Sedih. Marah. Malu. Merasa bersalah. Beragam perasaan campur aduk.
Tiba
di rumah, saya kembali ajak dia diskusi. Saya tanyakan pendapatnya
tentang anak jalanan. Saya tanyakan rasanya mencari uang dengan cara
mereka. Saya pancing dia bercerita sebanyak-banyaknya tentang kejadian
yang baru dialami.
Ajaib, dalam seketika anak saya mengerti
tentang menghargai uang. Mengerti bahwa di jalan, ada anak-anak yang
susah makan. Banyak jawaban lain yang membuat saya terharu.
Sekarang,
anak sulung saya sudah berusia 8 tahun. Saya melihat dampak pelajaran
hari itu begitu luar biasa. Dia tidak lagi menjadi pemilih makanan, mau
berbagi dengan orang lain, dan banyak hal-hal positif yang berkaitan
dengan pemahamannya tentang menghargai uang.
Anak saya bahkan
punya rekening sendiri dan pernah bekerja part time di kantin sekolahnya
tanpa sepengetahuan saya. Saya sangat bangga padanya. Lebih penting
lagi, saya benar-benar tidak ingat kapan dia terakhir ketinggalan mobil
jemputan.
Jadi, jangan pernah menunda mengajarkan tentang
menghargai uang kepada anak-anak kita. Anak-anak yang tidak diajarkan
tentang menghargai uang akan cenderung menjadi pribadi yang boros,
konsumtif, berpotensi terjebak utang kartu kredit, dan lain-lain.
Apalagi, tentu kita tidak ingin anak tumbuh menjadi orang yang
menghalalkan korupsi atau berbuat kejahatan demi memenuhi hasrat
konsumsinya.
Jika kita menghendaki pensiun yang tenang, anak-anak
yang berhasil secara karir dan keuangan, kenalkan sedini mungkin
tentang menghargai uang kepada mereka. Mereka yang akan menentukan kita
tetap kaya atau jatuh miskin di masa depan.
Selamat mengajar ...
Aakar Abyasa Fidzuno
Perencana Keuangan Zelts Consulting
sumber: https://id.berita.yahoo.com/belajar-menghargai-uang--bukan-di-sekolah-tempatnya-070802748.html
0 komentar:
Posting Komentar