• Home
  • Edit
  • HAK ISTERI ATAS SUAMI ~ Berbagi Info

    Selasa, 27 Januari 2015

    HAK ISTERI ATAS SUAMI

    HAK ISTERI ATAS SUAMI                Dr. Yusuf Qardhawi
     
    PERTANYAAN
     
    Saya menikah  dengan  seorang  laki-laki  yang  usianya
    lebih  tua  daripada saya dengan selisih lebih dari dua
    puluh tahun. Namun,  saya  tidak  menganggap  perbedaan
    usia    sebagai   penghalang   yang   menjauhkan   saya
    daripadanya atau membuat saya lari  daripadanya.  Kalau
    dia  memperlihatkan  wajah,  lisan,  dan hatinya dengan
    baik sudah barang tentu hal  itu  akan  melupakan  saya
    terhadap  perbedaan  usia ini. Tetapi sayang, semua itu
    tak saya peroleh. Saya tidak pernah  mendapatkan  wajah
    yang  cerah,  perkataan  manis, dan perasaan hidup yang
    menenteramkan.   Dia   tidak   begitu   peduli   dengan
    keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.
     
    Dia  memang  tidak  bakhil  dalam  memberi  nafkah  dan
    pakaian, sebagaimana dia juga  tidak  pernah  menyakiti
    badan  saya.  Tetapi,  tentunya  bukan  cuma  ini  yang
    diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya.  Saya
    melihat  posisi  saya  hanya sebagai objek santapannya,
    untuk  melahirkan  anak,  atau   sebagai   alat   untuk
    bersenang-senang  manakala  ia  butuh bersenang-senang.
    Inilah yang menjadikan saya merasa  bosan,  jenuh,  dan
    hampa.  Saya  merasakan  hidup  ini sempit. Lebih-lebih
    bila saya melihat teman-teman saya yang  hidup  bersama
    suaminya   dengan   penuh  rasa  cinta,  tenteram,  dan
    bahagia.
     
    Pada suatu kesempatan saya  mengadu  kepadanya  tentang
    sikapnya  ini,  tetapi  dia  menjawab  dengan bertanya,
    "Apakah aku kurang dalam  memenuhi  hakmu?  Apakah  aku
    bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"
     
    Masalah  inilah  yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz
    agar suami isteri  itu  tahu:  Apakah  hanya  pemenuhan
    kebutuhan  material  seperti makan, minum, pakaian, dan
    tempat tinggal itu saja yang  menjadi  kewajiban  suami
    terhadap  isterinya  menurut hukum syara'? Apakah aspek
    kejiwaan tidak ada nilainya  dalam  pandangan  syari'at
    Islam yang cemerlang ini?
     
    Saya,  dengan  fitrah  saya  dan  pengetahuan saya yang
    rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam  demikian.
    Karena  itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan
    aspek psikologis  ini  dalam  kehidupan  suami  isteri,
    karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih
    kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.
     
    Semoga Allah menjaga Ustadz.
     
    JAWABAN
     
    Apa yang  dipahami  oleh  saudara  penanya  berdasarkan
    fitrahnya   dan  pengetahuan  serta  peradabannya  yang
    rendah itu  merupakan  kebenaran  yang  dibawakan  oleh
    syari'at Islam yang cemerlang.
     
    Syari'at   mewajibkan   kepada   suami  untuk  memenuhi
    kebutuhan  isterinya  yang  berupa  kebutuhan  material
    seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan
    sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing,  atau
    seperti  yang  dikatakan  oleh  Al  Qur'an "bil ma'ruf"
    (menurut cara yang ma'ruf/patut)
     
    Namun,   Syari'at   tidak   pernah    melupakan    akan
    kebutuhan-kebutuhan  spiritual  yang  manusia  tidaklah
    bernama     manusia     kecuali      dengan      adanya
    kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang
    pujangga  kuno:  "Maka  karena  jiwamu  itulah   engkau
    sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."
     
    Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah
    satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta  dan
    salah    satu    nikmat   yang   diberikan-Nya   kepada
    hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
     
    "Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah   Dia
    menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
    supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya,
    dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih dan sayang.
    Sesungguhnya  pada  yang   demikian   itu   benar-benar
    terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum:
    21)
     
    Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup  bersuami
    isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang
    antara  keduanya,  yang  semua  ini   merupakan   aspek
    kejiwaan,  bukan  material. Tidak ada artinya kehidupan
    bersuami isteri yang  sunyi  dari  aspek-aspek  maknawi
    ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
     
    Dalam  hal  ini banyak suami yang keliru - padahal diri
    mereka sebenarnya baik - ketika  mereka  mengira  bahwa
    kewajiban  mereka  terhadap isteri mereka ialah memberi
    nafkah, pakaian, dan tempat  tinggal,  tidak  ada  yang
    lain  lagi.  Dia  melupakan  bahwa  wanita (isteri) itu
    bukan hanya  membutuhkan  makan,  minum,  pakaian,  dan
    lain-lain  kebutuhan  material, tetapi juga membutuhkan
    perkataan yang baik,  wajah  yang  ceria,  senyum  yang
    manis,   sentuhan   yang  lembut,  ciuman  yang  mesra,
    pergaulan yang penuh kasih  sayang,  dan  belaian  yang
    lembut   yang   menyenangkan   hati  dan  menghilangkan
    kegundahan.
     
    Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan
    adab   pergaulan   diantara   mereka   yang   kehidupan
    berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua  itu.
    Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan
    Sunnah itu ialah berakhlak yang  baik  terhadapnya  dan
    sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
     
    "...  Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara
    yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)
     
    "... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil  dari
    kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )
     
    "...  Dan  berbuat  baiklah kepada dua orang ibu bapak,
    karib kerabat,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin,
    tetangga  yang  dekat  dan  tetangga  yang  jauh, teman
    sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa:
    36)
     
    Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman
    sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.
     
    Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik
    kepada  mereka  (isteri)  bukan  cuma  tidak  menyakiti
    mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka,  dan
    penyantun  ketika  mereka  sedang  emosi  serta  marah,
    sebagaimana diteladankan Rasulullah saw.  Isteri-isteri
    beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi
    perkataan, bahkan pernah ada pula  salah  seorang  dari
    mereka menghindari beliau sehari semalam.
     
    Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu
    kalau engkau  marah  dan  kalau  engkau  rela."  Aisyah
    bertanya,  "Bagaimana  engkau  tahu?"  Beliau menjawab,
    "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi  Tuhan
    Muhammad,'  dan  bila  engkau  marah,  engkau  berkata,
    'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah  menjawab,  "Betul,
    (kalau   aku  marah)  aku  hanya  menghindari  menyebut
    namamu."
     
    Dari adab  yang  dikemukakan  Imam  Ghazali  itu  dapat
    ditambahkan  bahwa  disamping  bersabar  menerima  atau
    menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu,  bergurau,
    dan  bermain-main  dengan  mereka, karena yang demikian
    itu dapat menyenangkan  hati  wanita.  Rasulullah  saw.
    biasa   bergurau   dengan   isteri-isteri   beliau  dan
    menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak
    dan   berakhlak,  sehingga  diriwayatkan  bahwa  beliau
    pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
     
    Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras  itu  -  pernah
    berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya
    seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada
    disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah
    seorang laki-laki."
     
    Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah  membenci
    alja'zhari  al-jawwazh,"  dikatakan bahwa yang dimaksud
    ialah  orang  yang  bersikap  keras   terhadap   isteri
    (keluarganya)   dan   sombong  pada  dirinya.  Dan  ini
    merupakan salah satu makna  firman  Allah:  'utul.  Ada
    yang  mengatakan  bahwa  lafal 'utul berarti orang yang
    kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
     
    Keteladanan tertinggi bagi semua itu  ialah  Rasulullah
    saw.   Meski   bagaimanapun   besarnya   perhatian  dan
    banyaknya kesibukan beliau dalam  mengembangkan  dakwah
    dan  menegakkan  agama,  memelihara jama'ah, menegakkan
    tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan
    musuh  yang  senantiasa  mengintainya dari luar, beliau
    tetap  sangat  memperhatikan  para  isterinya.   Beliau
    adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan
    Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca  Al-Qur'an,
    dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena
    lamanya  berdiri  ketika  melakukan  shalat  lail,  dan
    menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
     
    Namun,  sesibuk  apa  pun beliau tidak pernah melupakan
    hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau  penuhi.
    Jadi,  aspek-aspek  Rabbani  tidaklah  melupakan beliau
    terhadap aspek  insani  dalam  melayani  mereka  dengan
    memberikan  makanan  ruhani  dan  perasaan  mereka yang
    tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan
    perut dan pakaian penutup tubuh.
     
    Dalam  menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau
    dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
     
    "Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya  ialah
    bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah
    menyuruh gadis-gadis Anshar  menemani  Aisyah  bermain.
    Apabila  isterinya  (Aisyah)  menginginkan sesuatu yang
    tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila
    Aisyah  minum  dari  suatu  bejana,  maka  beliau ambil
    bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
    letakkan  mulut  beliau  di  tempat  mulut  Aisyah tadi
    (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau
    juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."
     
    Beliau  biasa  bersandar  di  pangkuan  Aisyah,  beliau
    membaca  Al  Qur'an  sedang  kepala  beliau  berada  di
    pangkuannya.  Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
    beliau  menyuruhnya   memakai   sarung,   lalu   beliau
    memeluknya.  Bahkan,  pernah  juga  menciumnya, padahal
    beliau sedang berpuasa.
     
    Diantara kelemahlembutan dan akhlak  baik  beliau  lagi
    ialah   beliau   memperkenankannya  untuk  bermain  dan
    mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang  Habsyi
    ketika  mereka  sedang  bermain di masjid, dia (Aisyah)
    menyandarkan kepalanya ke pundak beliau  untuk  melihat
    permainan  orang-orang  Habsyi  itu. Beliau juga pernah
    berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan  keluar  dari
    rumah bersama-sama.
     
    Sabda Nabi saw:
     
    "Sebaik-baik  kamu  ialah  yang  paling  baik  terhadap
    keluarganya, dan aku  adalah  orang  yang  paling  baik
    terhadap keluargaku."
     
    Apabila   selesai   melaksanakan   shalat  ashar,  Nabi
    senantiasa mengelilingi (mengunjungi)  isteri-isterinya
    dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba
    beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu
    tiba  giliran  beliau  untuk  bermalam. Aisyah berkata,
    "Rasulullah  saw.  tidak   melebihkan   sebagian   kami
    terhadap  sebagian  yang  lain dalam pembagian giliran.
    Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
    mendekati  tiap-tiap  isteri beliau tanpa menyentuhnya,
    hingga  sampai  kepada  isteri  yang  menjadi   giliran
    beliau, lalu beliau bermalam di situ."1
     
    Kalau  kita  renungkan apa yang telah kita kutip disini
    mengenai petunjuk Nabi saw.  tentang  pergaulan  beliau
    dengan  isteri-isteri  beliau, kita dapati bahwa beliau
    sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka,
    dan   mendekati  mereka.  Tetapi  beliau  mengkhususkan
    Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan  berarti
    beliau   bersikap  pilih  kasih,  tetapi  karena  untuk
    menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih
    perawan dan karena usianya yang masih muda.
     
    Beliau  mengawini  Aisyah ketika masih gadis kecil yang
    belum mengenal seorang  laki-laki  pun  selain  beliau.
    Kebutuhan  wanita  muda  seperti ini terhadap laki-laki
    lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih
    tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan
    kebutuhan disini bukan  sekadar  nafkah,  pakaian,  dan
    hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan
    spiritualnya lebih penting  dan  lebih  dalam  daripada
    semua  itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
    lihat  Nabi  saw.  selalu  ingat  aspek  tersebut   dan
    senantiasa   memberikan   haknya   serta  tidak  pernah
    melupakannya  meskipun  tugas  yang  diembannya  besar,
    seperti  mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan
    menegakkan daulah.
     
    "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang
    bagus bagi kamu."
     
    Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
     
    Catatan kaki:
     
    1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.
     
    -----------------------
    Fatwa-fatwa Kontemporer
    Dr. Yusuf Qardhawi
     
    sumber: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/HakIsteri.html 

    0 komentar:

    Posting Komentar