• Home
  • Edit
  • Hukum Bunga Bank ~ Berbagi Info

    Selasa, 27 Januari 2015

    Hukum Bunga Bank

    BUNGA BANK                                Dr. Yusuf Qardhawi
     
    PERTANYAAN
     
    Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
    saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
    saya mengambil bunga itu? Karena  saya  tahu  Syekh  Syaltut
    memperbolehkan mengambil bunga ini.
     
    Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
    ada yang memperbolehkannya dan ada yang  melarangnya.  Perlu
    saya  sampaikan  pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
    uang saya, tetapi bunga  bank  yang  saya  peroleh  melebihi
    zakat yang saya keluarkan.
     
    Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
    harus saya lakukan?
     
    JAWABAN
     
    Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
    riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
    disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya,  apa  yang  diambil
    seseorang   tanpa   melalui   usaha  perdagangan  dan  tanpa
    berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka
    yang  demikian  itu  termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah
    berfirman:
     
        "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
         Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
         jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
         tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
         ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
         memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
         riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
         menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
        (Antara lain Baqarah: 278-279)
     
    Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap
    pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa tambahan yang
    timbul darinya adalah  riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan
    atas  pokok  harta  yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
    atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
    dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
    saya  Syekh  Syaltut   sepengetahuan   saya   tidak   pernah
    memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau pernah mengatakan:
    "Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
    ijtima'iyah--  maka  bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
    ini  beliau   memperluas   makna   darurat   melebihi   yang
    semestinya,  dan  perluasan  beliau  ini tidak saya setujui.
    Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank
    sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
    tidak setuju dengan pendapat ini.
     
    Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya
    dengan  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila dia melakukan
    perkongsian,  dia  wajib  memperoleh  keuntungan   begitupun
    kerugiannya.  Kalau  keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
    keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
    yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
    harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang
    sama-sama memikul tanggung jawab.
     
    Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara
    pemilik  modal   dengan   pengelola   --misalnya   pengelola
    memperoleh  keuntungan  sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik
    modal  hanya  lima  atau  enam  persen--  atau   terlepasnya
    tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami
    kerugian, maka  cara  seperti  ini  menyimpang  dari  sistem
    ekonomi  Islam  meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan
    kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
    beliau.
     
    Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
    jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak  boleh  ia
    mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia
    menzakati harta yang ia simpan di bank.
     
    Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
    kasus demikian?
     
    Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
    dan wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan  para  ulama
    muhaqqiq  (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
    (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
    diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
    atau membuangnya ke laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak
    boleh  bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
    ini bertentangan  dengan  kaidah  syar'iyyah  yang  melarang
    menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
     
    Harta  itu  bolehlah  diambil  dan disedekahkan kepada fakir
    miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek  kebaikan  atau
    lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi
    kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram  itu
    --sebagaimana  saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
    itu bukan milik  bank  atau  milik  penabung,  tetapi  milik
    kemaslahatan umum.
     
    Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak ada manfaatnya
    dizakati, karena zakat itu tidak dapat  mensucikannya.  Yang
    dapat  mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
    untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
     
        "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
         hasil korupsi." (HR Muslim)
     
    Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini,  karena
    harta  tersebut  bukan  milik  orang yang memegangnya tetapi
    milik umum yang dikorupsi.
     
    Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank
    untuk  kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula membiarkannya
    menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
    memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
    hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada
    jalan-jalan kebaikan.
     
    Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa
    sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  uang  di  bank  juga
    memiliki  risiko  kerugian  jika bank itu mengalami kerugian
    dan  pailit,  misalnya  karena  sebab  tertentu.  Maka  saya
    katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
    walaupun  si  penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari
    kepailitan   atau  kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini
    menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   ditetapkan.   Sebab
    tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
    syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan
    manusia--  tidak  boleh  disandarkan  kepada perkara-perkara
    yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama  telah  sepakat
    bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan
    sebagai  sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering
    terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
    kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  kulliyyah
    (kaidah umum).
     
    Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang (di bank)
    dengan  jalan  riba  hanya  mendapatkan   keuntungan   tanpa
    memiliki  risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
    kerugian, maka  hal  itu  merupakan  suatu  keganjilan  atau
    penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan keganjilan tersebut
    tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
     
    Boleh  jadi  saudara  penanya  berkata,  "Tetapi  bank  juga
    mengolah  uang  para  nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
    mengambil keuntungannya?"
     
    Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi
    apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu.
    Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi
    dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka akadnya adalah akad
    berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya  nasabah  akan  ikut
    menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian.  Tetapi pada
    kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau
    bangkrut,  maka  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang
    mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.  Bahkan
    kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan
    tersebut  dengan  pembagian  yang   adil   (seimbang)   jika
    berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
    sedikit.
     
    Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah  menganggap  dirinya
    bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak pula merasa
    bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka
    menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
     
    -----------------------
    Fatwa-fatwa Kontemporer
    Dr. Yusuf Qardhawi
     
    sumber: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/BungaBank.html 

    0 komentar:

    Posting Komentar